Kamis, 27 Mei 2010

4 Tahun Gempa Jogja

Tak terasa empat tahun sudah gempa dahsyat yang pernah terjadi di Jogjaku tercinta. Gempa Tektonik dengan kekuatan 5,9 SR itu telah meluluhlantakkan Jogja khususnya Bantul. Menurut BMG pusat gempa berada di 8.03 LS dan 110,32 BT pada kedalaman 11,3 Km dan kekuatan 5.9 SR Mb (Magnitude Body) atau setara 6.3 SR Mw (Magnitude Moment). Hiposentrumnya ada di laut, namun tidak menimbulkan tsunami. Gempa itu memang tidak sebesar gempa Aceh yang berkekuatan 8,7 SR dan mengakibatkan tsunami, tapi efeknya sangat luar biasa di daratan, puluhan ribu bangunan roboh, terdiri dari bangunan pemerintah, bangunan rumah penduduk, bangunan sekolah dan perguruan tinggi, serta bangunan perdagangan (mall, pasar, swalayan, dsb). Tidak ketinggalan situs-situs yang bersejarah juga rusak bahkan luluh lantak akibat gempa Jogja. Gempa juga mengakibatkan rusaknya instalasi listrik dan komunikasi. Gempa Jogja waktu itu sampai menewaskan ribuan warga akibat tertimpa material bangunan yang roboh.



Adalah empat tahun yang lalu, 27 Mei 2006, hari itu nampak seperti hari-hari sebelumnya. Seperti biasa, aku bangun sebelum pukul 5 pagi. Setelah sholat shubuh, hal yang harus ku lakukan adalah menyelesaikan skripsiku yang beberapa hari lagi deadline. Aku sedang di puncak semangatku, semangat yang membara untuk segera menamatkan kuliahku di jenjang S1. Hari itu hari sabtu, di pagi yang sejuk dan cerah, tepat pukul 05.55 WIB, tak satupun warga Jogja yang mengira akan datangnya musibah gempa bumi itu. Karena justru waktu-waktu itu yang heboh adalah Merapi yang diperkirakan akan meletus. Bahkan Presiden SBY sampai harus turun tangan meyakinkan warga sekitar Merapi untuk mengungsi.



Kala itu yang ku rasakan, diawali dengan gempa kecil saat mata dan pikiranku masih terpaku pada layar monitor komputer, namun gempa itu tak berhenti dan malah bertambah besar. Kreak...kreak..kreak, terdengar bunyi benturan besi-besi beton yang tertanam dalam tembok-tembok rumahku. Seisi rumah segera menghambur ingin keluar. Aku yang sedang berobsesi menyelesaikan skripsiku seketika buyar dan lari tunggang-langgang meninggalkan komputerku yang mulai oleng ke kanan dan ke kiri karena hilang keseimbangan. Sebenarnya waktu itu aku sempat bingung mau lari ke arah mana, mengingat begitu besar rumahku plus banyak pintu keluarnya. Meskipun begitu, kepanikan dalam rumah sangat terasa karena belum satu pun pintu yang dibuka, semua masih terkunci rapat (itulah kebiasaan keluargaku, pintu dibuka kalo sudah di atas jam 6 pagi, kalo mbak-e udah datang untuk bersih-bersih) sedangkan gempa semakin besar saja dan seperti mengaduk-ngaduk rumahku beserta isinya. Akhirnya kata hatiku mengatakan aku harus mengikuti arah kemana ibuku lari, ibuku lari ke depan dan aku mengikutinya sambil menutupi kepalaku, aku takut kalo tembok rumah sampai roboh, jadi refleks tanganku melindungi kepalaku. Akhirnya kami sekeluarga bisa keluar semua dengan selamat meski adik bungsuku mengalami sedikit luka di pinggangnya karena kena runtuhan tembok. Dan gempa masih juga berlangsung, aku merasa ngeri dan merinding melihat gapura samping rumahku meliuk-liuk gemulai layaknya goyangan penyanyi dangdut. Sementara para tetangga semua sudah berkumpul di jalan raya mengkhawatirkan keluarga kami yang tak kunjung keluar rumah waktu itu, kebetulan depan rumahku adalah jalan Raya Piyungan-Prambanan, dan semua orang berkumpul disitu, semua memekikkan takbir, banyak yang menjerit dan menangis terutama anak-anak kecil, "Allahu Akbar...Allahu Akbar...", rasanya hari itu seperti akan kedatangan hari kiamat. Aku pun jadi mengingat akan dosa-dosaku yang menumpuk, dan kiamat sudah di depan mata. Ya Allah ampunilah segala dosaku..(doaku selalu waktu itu). Gempa akhirnya berangsur reda..., namun semua orang masih berkumpul di jalan raya depan rumahku, semua masih berjaga-jaga dan belum berani masuk kembali ke dalam rumah. Semua saling memberi semangat dan semua mulai menceritakan keadaan rumah masing-masing sebelum akhirnya mereka berhamburan sampai ke jalan raya.

"Bu..., saya udah ga punya rumah lagi. Rumah saya roboh, udah ga bisa ditempati lagi, bu... Bener-bener ambruk", curhat tetangga belakang rumah kepada Ibuku.

Aku semakin merinding saja mendengar cerita para tetanggaku. Diantara rasa sedih dan prihatin akan penuturan para tetangga, aku pun sangat bersyukur, Allah menjaga rumah utama kami, rumah kami masih kokoh berdiri. Hanya bagian belakang yang sedikit mengalami kerusakan. Dan yang terpenting semua anggota keluargaku selamat. Itu yang terpenting bagi kami..



Gempa yang mereda kala itu disusul dengan gempa susulan yang tak kalah menakutkan. Gempa yang akhirnya memunculkan isu adanya gelombang tsunami. Aku sempat termakan omong kosong itu, aku lari tunggang langgang bersama Ibu dan adik-adikku, bayangkan saja kami bersama ratusan warga sekitar lari menuju bukit terdekat, bukit Gebang, sementara kakak-kakak dan keponakan-keponakanku masih stand by menjaga rumah. Memang gempa susulan itu malah membekaskan trauma, sehingga waktu itu banyak sekali yang tidak berfikir logis. Kalo dipikir-pikir, Piyungan itu termasuk dataran tinggi, sekitar 135 m dpal. Selain itu, Piyungan jauh dari Laut. Tapi ternyata banyak sekali yang termakan isu yang sengaja dilemparkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Banyak orang yang mempercayai isu itu karena melihat efek yang ditimbulkan dari gempa. Di Piyungan saja, seribuan rumah rata dengan tanah, ditambah dengan adanya retakan-retakan tanah yang menganga di beberapa lokasi. Yang paling menyedihkan ketika mengetahui jumlah korban jiwa yang sampai ratusan di kecamatan Piyungan saja. Dan korban meninggal akibat gempa di seluruh DIY sampai 8 ribu-an jiwa.



Gempa yang akhirnya meluluhlantakkan Jogja itu, khususnya Bantul, ternyata hanya memerlukan waktu 57 detik saja. Ya..., masih dalam hitungan detik, dan kerusakan terjadi dimana-mana, korban jiwa juga berjatuhan. Astaghfirullah..., Subhanallah...., Allahu Akbar..., begitu besar kuasa-Mu yaa Robbi. Kun fa ya kun. Yang terjadi maka terjadilah.



Kini..., setelah 4 tahun berlalu, semuanya telah bangkit dari keterpurukan. Bangunan-bangunan yang dulu rata dengan tanah kini sudah terbangun lagi. Dan rasa trauma yang menghinggapi masyarakat korban gempa berangsur hilang. Perekonomian sudah semakin pesat saja di Kotaku tercinta. Memang deh..., masyarakat Jogja adalah masyarakat yang kuat mentalnya, tahan banting, dan segera meninggalkan rasa trauma untuk segera bangkit bersama membangun kembali peradaban dan perekonomian. Semangat ya..., untuk semua warga Jogjakarta... Smile ^_^



Tidak ada komentar:

Posting Komentar